Selasa, 06 Maret 2012

Bangsa Pemarah

Kembali kali ini saya posting kan tulisan rekan saya yaitu Roebing G. Budhi.
Beliau menulis melalui beberapa pengamatan yang akhir-akhir ini terjadi di negeri kita Indonesia yang terkenal dengan keramahtamahannya.

Kerusuhan massa dan aksi anarkis yang telah terjadi di Bima-NTB (Nusa Tenggara Barat) dengan membakar kantor Bupati Bima menjadi keprihatinan kita bersama. Potensi konflik yang bersifat struktural tengah menggelayuti republik ini. Masih relevankah penerapan Pancasila dan benarkah Indonesia merupakan negara hukum (rechsstaat)? Penulis teringat dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi di PR, 15 Nov, 2011, hal. 1, “Kalau dicermati, sekarang ini masyarakat kita pemarah betul. Kalah dalam pilkada saja bakar ban tiga hari. Padahal, itu pesta demokrasi yang seharusnya tidak menimbulkan bencana apalagi bisa menelan korban. Hal seperti itu juga tidak mencerminkan Dasar Negara Indonesia, Pancasila”. Bila semakin membudaya kondisi masyarakat kita sebagai bangsa pemarah, sebagaimana yang diungkapkan oleh mendagri di atas, berarti bertambah satu lagi ciri manusia Indonesia, sebagaimana yang selama ini telah diungkapkan oleh Alm. Mochtar Lubis dalam “Manusia Indonesia-Sebuah Pertanggungjawaban”(1978),bahwa manusia Indonesia senggan dan enggan bertanggungjawab atas perbuatannya, munafik, berjiwa feodalistik, percaya tahayul, artistik, dan watak yang lemah. Bangsa kita pun dituding Lubis memiliki sifat tidak hemat, cenderung boros, tidak suka bekerja keras, kecuali kalau terpaksa, dan kurang sabar serta dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih maju.
Mantan Wapres, Jusuf Kalla, saat menjadi nara sumber pada “presidential lecture” di Institut Teknologi Bandung, 20 Agustus 2011u, mengungkapkan pula bahwasanya bangsa kita harus mengatasi rasa minder dan budaya serba instan guna menjadi bangsa yang mandiri dan maju. Hal ini harus diawali oleh para pemimpin yang menjadi panutan masyarakat disertai kebijakan negara yang berkarakter. Suatu pernyataan yang tepat di tengah berbagai keprihatinan yang melanda ibu pertiwi lewat segudang problema yang menggelayuti kehidupan berbangsa dan bernegara. Ancaman degradasi moral, korupsi yang merajalela, aksi premanisme, dan anarkisme nyaris setiap hari kita dengar dan saksikan. Indonesia menangis, “the founding fathers” tentunya tak pernah mencita-citakan hal ini terjadi. Pengorbanan para pahlawan kemerdekaan seyogyanya dihargai dan dijunjung tinggi lewat aksi membangun negara dan mentalitas manusia Indonesia ke arah yang lebih adab. Namun kita terus terpuruk. Peringkat sumber daya manusia (sdm) berada di peringkat 124 dari 187 negara versi UNDP-PBB (United Nations Development Programme). Indeks persepsi korupsi (CPI) menempati 110 dari 178 negara. Belum lagi “tragedi nol buku”, sebagaimana yang dikemukakan oleh sastrawan kondang, Buya Taufiq Ismail, saat audiensi dengan Komisi X DPR-RI belum lama ini, suatu ungkapan keprihatinan terhadap minimnya minat baca bangsa kita. Menurut Programme for International Student Assesment (PISA), minat baca orang Indonesia menduduki rangking ke 57 dari 65 negara, jauh tertinggal misalnya dibanding Thailand ke 50 atau Jepang di tempat ke 8. Tentu dengan rendahnya minat baca sulit mendongkrak kemajuan suatu bangsa. Namun, sejumlah harapan tetap kita miliki, misalnya, untuk ketersediaan infrastruktur menempati peringkat 82 dari 139 negara dan risiko negara gagal berada di urutan 61 dari 178 negara. Belum lagi Indonesia dinobatkan sebagai tempat ternyaman untuk memulai usaha, sesuai riset dari BBC World Service dan Globe Scan, Kanada. Dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6 persen per tahun, ditunjang kekayaan sumber alam yang tiada duanya di dunia, sepatutnya nusantara sangat potensial meraup kejayaan di sektor ekonomi.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr.Mahfud M.D. bahkan mengemukakan sudah habis setumpuk teori di gudang untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis. Sebuah situasi yang tidak boleh dibiarkan dan negeri ini harus bangkit dari berbagai hal yang telah mencapai titik nadir. Penguatan karakter bangsa berasaskan Pancasila menjadi salah satu solusi terbaik guna meredam berbagai problema kehidupan di republik ini. Bangsa yang berkarakter membutuhkan pendidikan dan keteladanan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, sampai kehidupan bermasyarakat guna dapat mengejewantahkan good governance. Harus diakui pendidikan karakter dan akhlak yang baik kurang mendapat penekanan dalam sistem pendidikan nasional. Kalaupun ada baru sebatas tataran teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai akhlak yang diajarkan tersebut.
Segalanya belum terlambat, yang terpenting adalah segera menyadari permasalahan yang terjadi dan obsesi berubah dan dirubah (change). Di sinilah peran para pemuka agama, tokoh masyarakat, guru, dan orang tua guna memberikan suri tauladan dan berkomitmen tinggi membenahi akhlak bangsa serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompok atau golongan. Revolusi sikap mental harus segera diwujudkan guna perbaikan moral bangsa yang sedang oleng dan rapuh. Tengoklah bagaimana Jepang mampu bangkit dari kehancuran perang dunia kedua, Vietnam yang memasuki era industrialisasi, atau Korea Selatan yang terus melaju sebagai salah satu negara termaju di Asia Timur. Semuanya ditopang oleh panutan, ketegasan, sistem manajemen pemerintahan yang baik,kedisiplinan para pemimpinnya,dan kemampuan daya tambah (value added).
Satu per satu gonjang-ganjing konstelasi kekacauan dalam politik, ekonomi, sosial budaya,dan hukum wajib kita benahi. Untuk aspek terakhir ini supremasi hukum harus segera direformasi tanpa pandang bulu. Niscaya bilamana keadilan dan legitimasi hukum diimplementasikan maka perlahan namun pasti kondisi negara akan pulih, kewibawaan aparat hukum pun mampu terhabilitir. Tirulah ketegasan Tiongkok, di mana para koruptor tanpa ampun mendapat ganjaran yang setimpal. Pertengahan Juli lalu, dua mantan wakil walikota yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tanpa bertele-tele dieksekusi mati. Tak kurang dari Presiden RRT Hu Jintao berkomentar bahwasanya perang melawan korupsi merupakan kunci dan satu-satunya jalan jika ingin tetap mendapat dukungan masyarakat dan otomatis menentukan hidup-matinya partai.
Mari segera kita laksanakan pembenahan karakter bangsa dimulai dari diri kita masing-masing dan dari hal terkecil. Tuhan telah mengaruniakan alam yang demikian kaya bagi bangsa kita guna diolah menjadi sumber daya yang tak mampu tersaingi negara manapun di dunia. Bangsa kita pada essensinya adalah bangsa penyabar dan jangan berubah menjadi bangsa pemarah. Pemerintah pun harus bergerak cepat mengeliminir segenap potensi konflik struktural masyarakat lewat mediasi dan penuntasan masalah yang terjadi.

Penulis : Roebing G. Budhi adalah alumnus FH Unpar Bandung dan pemegang "Museum Rekor Indonesia" dalam bidang gelar Kesarjanaan

0 komentar:

Posting Komentar

habis baca-baca..bolehlah isi komentarnya (kritikanpun boleh untuk perbaikan)..terimakasih..